Karawang - Deliknewsjabar.com
Kasus Pemotongan Tunjangan Tambahan Penghasilan (TPP) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Karawang yang sempat ramai dilaporkan oleh salah satu pejabat di Karawang ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang membuat ribuan PNS di lingkungan Pemkab Karawang terus bertanya-tanya.
Pasalnya, secara etika ataupun attitude peraturan jika seorang PNS melaporkan atau berteriak tentang bentuk kekecewaan yang di alami, bakal lebih memilih diam, walaupun berdampak pada penghasilan yang seharusnya wajib didapatkan, tapi tidak di dapatkannya.
Tentunya hal ini menjadi sebuah penderitaan yang sangat panjang dan tidak akan terpecahkan, jika para pemangku kebijakannya tutup mata, soalnya PNS yang telah disumpah untuk menjadi abdi negara dan menjaga kondusifitas negara dalam hal ini pemerintah Kabupaten Karawang.
Selain itu, mungkin saja ribuan PNS di Karawang sangat mengapresiasikan langkah salah satu pejabat yang telah berani membuka misteri TPP itu ke ranah hukum dan ke ranah publik.
Hal tersebut sangat di sayangkan oleh Juhadi Putra, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Paguyuban Barisan Rakyat Jagat Pasundan Indonesia (Braja Pasundan Indonesia) yang menurutnya jelas ada dugaan terjadinya tindakan diskriminalisasi dan dugaan praktek - praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terhadap ribuan PNS di Kabupaten Karawang.
"TPP itu kan ada payung hukumnya dan ada surat keputusan SK dari Bupati, nah dari surat keputusan itu tentunya ada besaran nominal yang berbeda-beda, selain itu juga ada golongan - golongannya, seperti golongan 2, 3 dan golongan 4, serta ada pendidikan ini, pendidikan itu.
Nah disitu muncul nominal, misalkan golongan 3 c atau 3 d, dengan masa kerja 25 tahun misalkan mendapatkan TPP nya 5 juta per-bulan, kan biasanya seperti itu," ucap Juhadi mengungkapkan kepada awak media, Minggu (25/04/21).
Pria yang akrab dipanggil Joe ini juga mendapatkan keluhan dari salah satu PNS di bidang kesehatan di Karawang, bahwasanya PNS tersebut menyampaikan keluhannya atas setiap penerimaan TPP hanya mendapatkan 80 persen saja, tidak full 100 persen.
"Ia menyampaikan, bahwa para pekerja puskesmas yang ada di Karawang itu hanya mendapatkan 80 persen saja, misalkan TPP yang wajib di berikan 5 juta rupiah per bulan, dan mereka hanya 80 persen saja dari 5 juta itu, akhirnya seperti mubajir saja, disatu sisi ini seperti mendiskresikan dinas itu juga,"timpal Joe.
Dikatakan Joe, salah satu PNS yang enggan disebutkan identitasnya itu mengungkapkan bahwa sepertinya mereka berdalih tidak ingin menaikkan atau menangguhkan TPP itu karena ada SK Kemendagri yang jelas dan tidak boleh menaikan TPP.
"Nah kalau para pekerja puskesmas itu katanya emang tidak naik, boro boro naik dari kemarin saja hanya terima 80 persen saja dari besaran yang sudah di tentukan, padahal seharusnya jika menurut peraturan TPP yang sudah sah di SK kan oleh Bupati 100 persen, bukan 80 persen," ucap Joe.
Joe mengatakan jika soal TPP tersebut dikaitkan dengan pelantikan camat yang sempat viral di media, tentunya dirinya juga mengendus ada arah tentang kepetingan politis yang tidak ingin kehilangan penghasilan demi suatu jabatan secara politis.
"Dari masalah Camat saja TPP nya terdengar kabar ada pemotongan 5 persen, dan para Camat tiba - tiba pindah dan langsung di lantik di dinas terkait, Persoalan itu juga saya yakin ujung-ujungnya ke masalah tunjangan atau TPP kan ," kilahnya.
Sementara, Nasib naas yang saat ini sedang berjuang untuk menyelamatkan warga dari incaran wabah covid-19 itu malah terkesan dirugikan terus. Saya yakin mereka (para _PNS) ga berani bersuara atau berteriak tentang hal itu, tapi apakah sekejam itu para para pemangku kebijakan ini?, dan ini jelas ada oknum yang bermain dalam pemotongan TPP tersebut," beber Joe.
Dirinya yakin jika masalah camat yang viral dilantik di dinas terkait larinya demi TPP, dan mungkin mereka juga merasa sayang, jika harus dipensiunkan dan tunjangan itu bakal lenyap semua.
"Nah disatu sisi orang yang berebut jabatan itu kan banyak, jika tiba-tiba dengan kepentingan politis semuanya bisa diatur oleh para oknum pemangku kebijakan bisa mulus dijalankan, lalu mau dikemanakan nasib para PNS yang berprestasi secara jalur pendidikan atau jalur skill keahliannya.
Mereka seolah-olah menghambat dari karir ribuan PNS yang memang sudah waktunya naik dan secara perputaran orang itu jelas tidak berputar, orang yang semestinya sudah dipensiunkan tapi malah diangkat kembali, di kemanakan nasib pekerja atau PNS yang berprestasi itu.
Sambung Joe, kinerja para pejabat Pemkab Karawang makin ke sini semakin menurun, kalau dibandingkan dengan era Bupati Dasim, atau di era Bupati Ade Swara, masyarakat tidak terdengar atas keluhan seperti adanya jalan rusak.
"Seharusnya tinggal melanjutkan saja kan, ini bukannya makin bagus malah terlihat parah. Jika dilihat setiap dinas atau setiap instansi mana sih, kenaikan - kenaikan hasil kinerjanya, tidak ada kan. Dan biasa - biasa saja tuh, saya liat itu karena efek korban jabatan politis, yang cenderung taktis atau praktis.
Karena jabatan pimpinannya ditunjuk berdasarkan politik, bukan berdasarkan kemampuan atau skill pendidikan di bidangnya, karena kepentingan politis sekarang orang tidak berkarir di naikanlah sebagai administrator, dan dijadikan sebagai pimpinan, makanya Karawang saat ini jelas bakal kekurangan para inovator.
Ia juga mengatakan dengan adanya kebijakan politislah kemudian kebanyakan pejabat saat ini malah cari aman, dan saling kejar jabatan. Karena kenapa, semakin tinggi jabatan terlihat bakal lebih enak, kerja ga cape, tunjangan gede, kan gitu.
"Setelah adanya era jabatan politis di jamin sampai kapan pun jelas bakal stagnan atau tidak ada perubahan, dan orang - orang yang memiliki inovasi atau orang pintar itu akhirnya tidak bisa mengembangkan potensinya, lalu mau di bawa kemana tanah pangkal perjuangan ini jika kepentingan jabatan politis ini terus di gulirkan demi syahwat kerajaan politik yang akhirnya masyarakat lah yang menjadi korban,"pungkasnya.(Sb)